My Coldest CEO

24| Together With 1 Room



24| Together With 1 Room

0Leo menatap bangunan rumah yang memang masih kalah jauh dengan miliknya, namun tidak menutup kemungkinan fungsi yang serupa untuk melindungi tubuh dari teriknya mentari dan lebatnya hujan.     

Mobil sport miliknya berhenti tepat di depan halaman rumah tersebut, tampak kosong seperti tidak ada kehidupan lain. Ia menolehkan kepala ke belakang, melihat Felia yang tadi membukakan pintu gerbang untuk mobilnya masuk. Wanita tersebut berjalan menghampiri dirinya, dan berhenti tepat di samping pintu mobil.     

Langsung saja melepas seat belt, ia membuka pintu mobil dan mengambil barang belanjaan Felia yang hanya ada dua kantung belanjaan, berukuran tidak terlalu besar ya terlihat sedang. Setelah tangan kirinya berhasil menggenggam kantung tersebut secara bersamaan, tak lupa Leo menyambar tas kulit selempang yang terdapat ID Card, ponsel, dan berbagai macam benda kecil penting lainnya.     

Setelah menyampirkan tali tas tersebut ke bahu kanannya, ia mencabut kunci.     

"Sudah tidak ada yang ketinggalan?" tanya Felia yang melihat Leo sudah mengambil berbagai macam barang. Tadi saat dirinya ingin mengambil kantung belanjaan tersebut, laki-laki itu menolaknya karena katanya seorang wanita tidak pantas membawa barang-barang sendirian. Jadi, ya kini kedua tangannya tidak menggenggam apapun selain angin.     

Leo menganggukkan kepalanya, ia sudah berada di luar mobil. "Tentu saja, yuk masuk." ucapnya.     

"Hei, ini kan bukan rumah mu. Seharusnya aku yang bilang itu," balas Felia yang tampak mengoreksi ucapan Leo karena terdengar seperti laki-laki itulah sang pemilik rumah karena mengajak ke dalam terlebih dahulu.     

Leo terkekeh kecil, lalu dengan gaya yang di buat-buat bak pelayan, menundukkan sedikit tubuhnya dengan hormat. "Silahkan Nona bisa masuk terlebih dahulu, dan tolong jangan lupa tunjukkan jalan untuk saya" ucapnya sambil menahan sebuah gelak tawa. Mengenal Felia rasanya berbeda saat dirinya mengenal wanita lain. Ia tidak pernah bertingkah seperti ini, hanya pada Felia saja yang entah kenapa tiba-tiba membuat perilaku penuh kemustahilan menjadi terwujud.     

Felia tampak gugup. Benarkan pemikirannya yang sebelumnya kalau berada di dekat Leo pasti ia akan di perlakukan sama layaknya seorang putri. Astaga, yang benar saja?! Impian dirinya dari kecil --dan yeah setiap wanita pasti pernah bermimpi menjadi seorang putri di istana-- kini terasa nyata dan sepertinya terwujud begitu saja.     

"Kita tidak masuk ke dalam rumah ini, Tuan." ucapnya sambil terkekeh kecil.     

Leo yang mendengar itu hanya bisa menaikkan sebelah alisnya, lalu kembali menegakkan tubuh yang tentu saja lebih tinggi daripada Felia, membuat wanita itu harus mendongakkan kepalanya. "Maksudmu? kenapa tidak masuk ke dalam rumah? Oh atau nanti ada kejutan seperti ruang bawah tanah, menarik sekali." ucapnya yang langsung saja menarik kesimpulan, sedikit diberikan bumbu tebak-tebakan.     

"Tentu saja, tidak. Mana ada orang yang menghabiskan waktu di ruang bawah tanah?"     

"Ada, dan pasti bukan diri mu karena saya yakin kalau apa yang saya ucapkan barusan itu salah."     

Leo melihat wajah Felia yang terkekeh kecil. Padahal, bisa di bilang perjalanan mereka ya hampir memakan waktu beberapa jam karena mampir ke cafe untuk mendengarkan penjelasan dari masing-masing pihak. Ia sudah tahu Azrell yang menyuruh Felia untuk datang ke mansion miliknya, dan wanita tersebut dengan mudah memutuskan hubungan.     

Perselisihan paham antara pemikiran Felia tentang dirinya juga sudah terpecahkan. Jadi, tidak ada lagi rasa kesal yang perlu di khawatirkan.     

Begini lah jadinya kalau mendapatkan informasi dari kedua belah pihak, pasti pemikiran buruk langsung terhempas begitu saja dengan sangat mudahnya.     

"Ikuti aku, Tuan. Sebaiknya jangan menaruh harapan tinggi pada wanita seperti diri ku,"     

Melihat Felia yang mulai melangkahkan kakinya, Leo mengekori wanita tersebut dari belakang. Ia tidak mengerti dengan perkataan Felia yang tidak akan masuk ke dalam rumah tersebut. Tapi, ia lebih memilih bungkam karena kalau banyak tanya pasti akan memakan banyak waktu.     

"Maaf kalau aku cuma wanita sederhana, silahkan masuk Tuan."     

Sekarang, di hadapan Leo terlihat sebuah bangunan yang luasnya tidak seberapa tapi sangat pantas di sebut sebagai rumah sederhana, seperti yang tadi di katakan Felia. Masih membungkam mulutnya, ia hanya menganggukkan kepala. Tidak, bukan kecewa karena tidak sesuai dengan ekspektasi atau apapun itulah.     

Tidak berkomentar apapun, Leo mengulas sebuah senyuman yang tulus. Ia tidak akan pernah membanding-bandingkan derajat, dan tentu saja ia menganggap kalau hal tersebut sebagai rasis.     

"Maafin ya kalau kamu ngerasa gak nyaman, Tuan."     

"Ah iya mungkin menurut kamu ruangan ini berantakan, tapi semua peralatan udah bersih kok karena aku rajin bersih-bersih."     

"Kamu duduk saja di sofa, aku akan membuatkan coklat panas untuk diri mu. Oh atau kamu ingin kopi, americano?"     

"Buat diri mu senyaman mungkin, ya?"     

Leo kini melihat gerak-gerik Felia yang gelisah, sedangkan ia sudah menaruh barang belanjaan wanita tersebut tepat di atas meja yang berdekatan dengan sofa. "Kenapa sih kamu? santai saja. Memangnya saya meminta apa yang kamu tawarkan? Aku hanya ingin air mineral dingin, ada kan?" tangan dengan nada santai sambil mendaratkan bokongnya di atas sofa.     

Sedangkan Felia? wanita itu tengah menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Ia merasa tidak enak dengan keadaan yang sangat berbanding terbalik dengan mansion besar milik Leo, rasa cemas tiba-tiba menghantui dirinya. "Ada, Tuan." ucapnya sambil mendekati Leo. Ah tidak, lebih tepatnya berjalan ke arah kantung belanjaan untuk menaruh barang-barang yang seharusnya di letakkan di dalam kulkas.     

"Kalau begitu, kamu tidak perlu cemas dengan kedatangan saya, Felia."     

"Ih siapa yang cemas, tidak perlu memiliki tingkat kepercayaan terlalu tinggi, Tuan."     

"Raut wajah mu tidak bisa berbohong, Felia."     

Berkat ucapannya, wajah Felia ini memerah karena menahan malu karena sudah ketahuan dirinya berbohong dengan perkataan hanya untuk menutupi kecemasan yang memang bersarang di tubuhnya. "Ah terserah diri mu, aku ingin merapihkan barang belanjaan." ucapnya.     

Leo melihat Felia yang mulai menenteng dua kantung belanjaan ke arah lemari es yang berada di sudut ruangan.     

"Kamu boleh nonton televisi, tapi maaf kamu harus naik ke atas kasur ku untuk menontonnya."     

Baru saja Leo ingin mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempang miliknya, ia menolehkan kepala ke arah Felia dengan alis yang terangkat sebelah. "Kamu mengajak saya tidur bersama, atau bagaimana?" tanyanya sambil mengulum sebuah senyuman yang tersimpan seribu juta makna.     

"Hah?" Felia mem-beo dengan wajah yang terlihat konyol. Ia tidak mengerti dengan ucapan Leo, "Maksud mu apa sih, Tuan? Lihat saja sendiri televisi ku hanya bisa di tonton dari atas kasur saja." ucapnya menjelaskan kembali dengan lugu.     

Leo mengalihkan pandangannya ke arah kasur, tepatnya ke arah televisi yang menggantung di dinding. "Kenapa kamu taruh di sana? Bukankah lebih fleksibel di letakkan saat berhadapan dengan sofa?" tanyanya yang memang bingung dengan konsep susunan Felia pada rumah minimalis ini. Padahal, ruangan ini tidak memakan terlalu banyak tempat karena ada beberapa barang yang sepertinya sudah tidak terpakai.     

Ya hanya untuk menaruh televisi di dinding tentu saja tidak masalah, dan tidak akan menambah kesan sempit ruangan.     

Felia mengerutkan keningnya, seperti sedang berpikir mengenai jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan dari Leo. "Euhm kalau tidak salah waktu itu aku sedang kebingungan menaruh barang-barang di ruangan ini, dan Tuan Sam sudah membelikannya untuk diri ku." jawabnya dengan jujur menjelaskan kenapa dirinya memasang televisi di dinding sebelah sana.     

"Kenapa tidak di rombak lagi?"     

"Tidak mau, aku nyaman. Karena sesuatu yang sudah membuat nyaman akan susah untuk meninggalkan, hukum alam."     

Leo mencerna apa yang di ucapkan oleh Felia. Seakan-akan wanita tersebut tengah menyindir kisah percintaannya dengan wanita yang selalu salah. Ada sih yang benar, tapi terkadang ia terlalu memiliki rasa bosan yang lebih besar daripada rasa sayang. Jadi hubungan tersebut tidak akan berjalan lama sebagaimana mestinya.     

"Baiklah, apa tidak masalah naik ke kasur mu?"     

"Tentu saja, aku gemar mengganti seprai jadi tidak ada kuman yang akan menyakitimu, Tuan."     

Leo mengerjapkan kedua bola matanya, ia rasa setiap pernyataan yang dilontarkan pasti terjawab dengan hal yang tidak nyambung. "Apa sih? Yasudah lupakan saja, kamu ternyata sulit di ajak berbicara." ucapnya sambil terkekeh kecil. Ia beranjak dari duduk di atas sofa menjadi mulai melangkahkan kakinya ke arah kasur king size.     

Sedangkan Felia? Ia merasa biasa saja toh dirinya nanti bisa membernarkan dan merapihkan, kembali seperti semula. Menaikkan kedua bahunya, seolah-olah tidak peduli dengan apa yang diucapkan oleh Leo. Memasukkan botol saus berukuran sedang, menjadikan barang terakhir yang masuk ke dalam lemari es.     

"Sudah selesai, aku sepertinya harus mengistirahatkan diri." gumamnya sambil melipat kedua kantung belanjaan, lalu di selipkan di antara kulkas dan guci. Jadi, kalau nanti membutuhkan kantung belanjaan, ia memilikinya.     

"Sini dengan saya,"     

Leo menatap Felia yang tampak kebingungan mencari tempat untuk mengistirahatkan lelahnya.     

"Maksudnya, Tuan?"     

"Kamu lelah kan ingin beristirahat? Lebih baik tidur saja di samping saya, tidak perlu takut."     

Seolah-olah itu adalah hal biasa bagi Felia, Leo menawarkan acara 'tidur bersama' dalam artian yang positif. Selagi hanya membaringkan tubuh di sampingnya, tidak akan membangkitkan gairah, iya kan? Iya lah sudah pasti seperti itu.     

Gugup dengan ucapan Leo yang menurut Felia cukup vulgar dan terdengar aneh, ia menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Euhm, sebaiknya aku mengambil kamu air mineral terlebih dahulu deh." ucapnya sambil memberikan sebuah senyuman yang terlihat kikuk.     

Leo mengulum senyuman geli melihat Felia yang salah tingkah. Lalu mengangkat bahunya, acuh. Ia mengambil remote televisi lalu segera menyalakan sampai benda pipih yang berada di dinding menampilkan gambar bergerak.     

"Tuan tidak ingin jus, atau yang lainnya?"     

"Memangnya kenapa?"     

"Supaya aku ada kerjaan saja,"     

"Kalau semisalnya aku meminta red wine, ada?"     

Felia mengerjapkan kedua bola matanya, lalu menelengkan kepala. "Red wine? ah tentu saja ada!" serunya.     

"Kalau begitu, aku mau red wine tapi bawa ke sini dulu air mineral yang sudah kamu tuang di gelas itu."     

Leo ingin membasahi dinding tenggorokannya dengan sesuatu yang dingin dan menyegarkan, sebelum menyiramnya dengan cairkan yang akan membakar tenggorokannya.     

"Akan ku ambil dulu di rumah Tuan Sam, kamu tunggu di sini saja ya Tuan."     

Menganggukkan kepalanya, melihat Felia yang menghampiri dirinya untuk meletakkan gelas berisikan air mineral dingin ke atas nakas, lalu melangkah kecil ke arah pintu tanpa mengatakan apapun lagi untuk dirinya.     

"Rumah sederhana dengan pemilik manis yang sama sederhananya."     

Jangan sampai hati Leo memilih Felia, tapi sudah pasti kalimat 'jangan sampai' pasti akan sewaktu-waktu menjadi 'sampai'.     

...     

Next chapter     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.